Rabu, 27 Oktober 2010

segala hal-nya (harus) selalu dramatis.

“ ...bukan daniella jika segala hal tidak jadi dramatis” begitulah bunyi pesan singkat yang kukirim pada beberapa orang, ketika aku dalam perjalanan balik dari liburan lebaran, Semacam sikap protes yang tak tahu harus kualamatkan pada siapa. Liburan lebaran tahun ini, seperti biasa kuhabiskan di kediaman nenek dari ayahku di majalaya, yang jaraknya tidak terlalu jauh dari pondokan tempatku tinggal. Perjalanan yang biasanya hanya butuh waktu kurang dari dua jam, kali ini harus aku lalui sampai delapan jam lebih. Sudah dua kali dalam dua hari terakhir ini, agenda pulang terhambat oleh hujan yang turun begitu deras, kali ini aku putuskan untuk berangkat lebih siang sebelum hujan turun. Jam sebelas siang selesai pamit kepada semua keluarga, diantar oleh seorang sepupu menggunakan sepeda motor kumulai perjalanan etape pertama menuju stasion kereta api Cicalengka yang jaraknya tidak lebih dari sembilan kilometer. Perjalanan hanya bisa kuselesaikan tidak lebih dari setengahnya, langit cerah tiba-tiba berubah menjadi mendung kelam dan drama hujan deras dimulai, Segera kami menepi ke sebuah warung kopi kecil untuk berteduh. Lebih dari setengah jam kami habiskan waktu di warung kopi itu, sampai akhirnya hujan tinggal gerimis. Sesegera mungkin kami tinggalkan tempat itu dan melanjutkan perjalanan. Kenyataan berkata lain, tidak lebih dari dua ratus meter kemudian, hujan deras kembali mengguyur dan kami harus berteduh (kembali) di warung kopi (lagi) yang berbeda. Setengah jam kemudian, jam tiga sore kami sudah sampai stasion kereta api yang semua bagian depannya terendam banjir selutut orang dewasa. Kulihat jadwal pemberangkatan kereta api, ternyata masih satu setengah jam lagi baru ada, dengan segala keterpaksaan aku harus menunggunya sendirian karena sepupu yang mengantarkanku memilih untuk segera pulang kembali. Dari pengeras suara, terdengar informasi dari petugas stasion bahwa Kereta sedang kutunggu mengalami keterlambatan, penantianpun bertambah. Sambil menunggu, kupesan lagi secangkir kopi hitam untuk menghangatkan tubuh yang sudah cukup basah ini, kukeluarkan pula novel perahu kertas karya dewi lestari untuk mengalihkan perhatianku dari dingin dan jengkel yang mulai kurasa. Kereta telah tiba, segera kuberdiri bersama ratusan calon penumpang lainnya di samping jalur kereta. Jam enam lebih aku sudah berdiri dalam gerbong kereta yang kurasa berjalan lebih pelan daripada biasanya, yang akhirnya kutahu bahwa itu adalah petunjuk untuk kejutan untuku berikutnya. Ya, benar sekali kereta berhenti dan mogok karena satu dan lain hal, untuk kembali melaju kami harus menunggu lokomotif baru yang akan didatangkan dari stasion pusat. Raaaaar... aku sudah tidak bersemangat untuk berkomentar, hingga akhirnya pukul delapan lebih aku sudah turun dari kereta di stasion hall bandung. Segera kuhubungi seorang kawan yang katanya mau menemuiku disana, dan setelah bertemu kami putuskan untuk segera pulang ke pondokan menggunakan angkot. Tepuk tangan sambil berdiri... angkot jurusan ciumbuleuit sudah tidak ada, otomatis kami harus menggunakan angkot jurusan lain yang setidaknya mendekati pondokan. Kenyataan lain bahwa angkot dago yang kami maksud, juga sudah tidak ada dan tidak ada pilihan selain jalan kaki. Bagiku menggunakan taxi adalah pilihan terakhir, apalagi alasannya selain karena harganya yang mahal. Trootar licin dan berlubang mulai kami tapaki, dari stasion halte menuju ciumbuleuit yang kami yakini cukup jauh. Sampai jalan dago, kawanku memutuskan untuk segera pulang kerumahnya yang cukup jauh juga, disana kami berpisah dan Jam sebelas lebih aku baru sampai di pondokan, dengan keringat yang sudah membasahi hampir semua bagian tubuhku. Mari kita rayakan hari penuh kejutan ini, untuk daniella yang segala hal-nya (harus) selalu dramatis.

Tidak ada komentar: