Rabu, 06 Mei 2009

Aku (masih) dipersimpangan jalan itu…..

Aku (masih) dipersimpangan jalan itu…..
Sedari dulu aku ada dipersimpangan jalan ini, susah untuku memutuskan harus kemana kulangkahkan kaki ini. Hujan, kabut, panas dan tentu saja sepi sudah kulalui disini. Banyak yang datang dan pergi tanpa satupun bisa meyakinkanku kemana arah yang harus kulalui. Apakah aku terlalu menyimpan curiga kepada semua orang baik itu? Apakah aku terlalu arogan untuk mengikuti langkah orang? Atau aku terlalu bodoh memilih diam saja disini sampai kumerasa yakin? Kenapa tidak kujajali saja satu diantara dua jalan itu, jika salahpun setidaknya aku pernah mencoba. Selalu saja kurenungkan mengapa aku bisa sampai disini? Mengapa aku tidak juga beranjak? Selalu saja sisi lain jiwaku mencari jawaban, pembelaan dan pembenaran atas segala Tanya itu. Harus kuseret langkah ini menapaki salah satu jalan itu, aku tidak boleh diam saja karena dipersimpangan jalan ini, Aku merasa setiap diamku, setiap tunduku, setiap pejam mataku adalah sebuah ketukan palu hakim menjatuhkan vonis untuk setiap salahku dahulu. Biarlah ku tapaki jalan yang entah akan berujung dimana ini dengan segala getir diiringi nyanyian sendu seorang bersalah dan akan kupastikan aku tegar menghadapi harga yang harus aku bayar dalam penembusan ini.

Haruskah aku merasa bersalah???*

Haruskah aku merasa bersalah???*
Berulang kali aku ceritakan pengalamanku waktu kelas dua Sekolah dasar, saat itu semua orang wajib mengumpulkan dan membacakan tugas karangan dengan tema cita-cita. Entah dimulai oleh siapa, yang pasti dari sekian temanku yang kedepan membacakan karangannya, aku mendengar cita-cita mereka dari mulai ingin menjadi dokter, pilot, guru atau artis dan selebihnya teman-temanku bercita-cita ingin menjadi orang yang berguna bagi nusa bangsa, agama dan orang tua. Tibalah giliranku bercerita, aku merasa tidak nyaman dan mencium gelagat kurang baik karena cita-citaku tidak sama dengan teman-teman sekelasku. Apa boleh buat, tidak mungkin untuku diam dan menolak membacakan karangan itu. Ya, tidak lebih dari lima menit aku membacanya, suara tawa teman sekelas membahana tepat setelah kukatakan cita-citaku adalah menjadi pemadam kebakaran. Mereka tertawa dengan puas ketika aku bingung kenapa mereka sampai tertawa demikian. Padahal aku ingat betul satu hari sebelumnya dirumah, ketika ku tulisakan karangan itu ibuku bertanya perihal apa yang aku tulis, dan kujawab kalau yang kutulis tersebut karangan tentang cita-citaku yang ingin menjadi pemadam kebakaran. Reaksi ibuku saat itu tidak mengejek atau menertawakan cita-citaku itu, bahkan dia katakana bagus keinginanku menjadi pemadam kebakaran. Untuku saat itu setiap kata ibu adalah benar dan aku merasa tidak salah memiliki cita-cita menjadi pemadam kebakaran meski ternyata didepan teman-temanku cita-citaku itu salah dan konyol. Hari ini, Aku sendiri tidak menjadi pemadam kebakaran dan teman-teman sekelasku itu tidak ada yang jadi pilot, dokter, atau artis hanya beberapa orang yang menjadi guru dan sisanya mungkin menjadi orang yang berguna bagi nusa bangsa, Negara, agama dan orang tua.
*ditulis di rumah kontrakan saat hujan turun dengan derasnya