Minggu, 26 April 2009

Ketika lagu koboy kampus the panas dalam tak lucu (lagi) didengar

Sempat aku mencoba cari tahu kiranya masalah jenis apa yang bisa membuat kawan-kawan dekatku dikampus itu gelisah atau getir menghadapinya. Masalah kuliah? Masalah keuangan? Masalah kegiatan kampus? Atau masalaha percintaan?... sejauh yang aku tahu, sampai tahun ketujuh ku dikampus semua hal yang kusebutkan tadi tidaklah menjadi hal yang bisa membuat getir kawan-kawanku, Meski IPK dibawah angka dua, meski keuangan morat marit di pertengahan bulan, atau kisah cinta yang selalu berakhir kandas. Beberapa waktu lalu beberapa kawan berkunjung kerumah, meminjam beberapa buku kuliah dan bercerita tentang terbitnya “surat cinta” dari kampus tentang pemutihan status mahasiswa yang belum lulus di tahun ketujuhnya. Ternyata surat cinta itu bisa membuat kawan-kawanku getir juga, dan aku jadi ingat lagu berjudul koboi kampus yang dibawakan oleh group music the panas dalam yang bercerita tentang jeritan hati mahasiswa yang belum lulus kuliah, sementara banyak hal yang membuatnya harus lulus kuliah, semisal keluarga dan calon istri yang menunggu dikampung, cerita tentang adik kelas yang lulus duluan sementara teman seangkatan sudah banyak yang di DO. Sengaja kuputar lagu itu sebagai lelucon dan olok-olokan bagi kawan-kawanku itu, ternyata tanggapan yang kudapat dari Salah satu kawan adalah, …inilah saat dimana lagu koboy kampus the panas dalam tak lucu (lagi) didengarkan. Selamat berjuang kawan-kawan, semoga berhasil mencapai titik akhir kuliah bernama wisuda. Kalaupun hari ini merasa kesal kepada kebijakan yang tertuang dalam “surat cinta” dari kampus, aku yakin suatu hari kawan-kawan akan berterimakasih untuk situasi ini.

Senin, 13 April 2009

Episode ini begitu panjang

Episode ini begitu panjang
Bulan Mei tahun 2000 silam aku ambil keputusan menandatangani Surat Tanda Tamat Belajar dari SMA, dengan demikian aku bisa menarik nafas panjang lega karena terbebas dari aturan normative sekolah. “…Akhirnya bisa kulepaskan juga seragam ini, bisa kugondrongkan rambut dan tentu saja aku bisa tinggal sendiri di kost-kostan yang bebas, aku akan jadi mahasiswa.” Itulah gumamku saat itu, yang ternyata kini ketika Sembilan tahun sejak saat itu telah berlalu harus ku renungkan kembali.
Sebelum memulai renungan ini kunikmati dulu kopi hitam dalam cangkir rainbow, kunyalakan rokok filter dan kupastikan lagi playlist lagu sesuai dengan tema perenungan ini.
Upacara adat mendaftar dan mengikuti saringan masuk universitas negeri aku ikuti meski akhirnya harus diakui namaku bukan satu diantara sekian ribu nama yang terpilih untuk dimasukan dalam lembar khusus hasil UMPTN di sebuah harian umum. Sedih rasanya saat mendapatkan kenyataan itu, meski hari ini aku bangga karena ternyata itu adalah rasa dari kekalahan dalam simulasi kompetisi hidup, setidaknya karena hal itu aku punya jiwa kalah yang membuatku tidak arogan. Dengan segala harapan dan semangat yang tersisa, akhirnya aku tercatat sebagai mahasiswa di sebuah perguruan tinggi swasta. Tepat ketika bagian ini, playlist lagu yang berputar adalah lagu berjudul kuliah pagi milik group band harapan jaya, yang menjadi soundtrack kebangganku saat itu.
Waktu berputar terus dengan segala warna dan dinamikanya tanpa bisa ku hindari, tak terasa sudah kumiliki tiga lembar kartu tanda mahasiswa dari perguruan tinggi yang berbeda. ironisnya, sampai tulisan ini ku selesaikan, statusku belum berubah alias masih sama seperti Sembilan tahun yang lalu yaitu sebagai mahasiswa. Ya… harus ku tundukan kepala dan menarik nafas panjang sekedar merenungi satu Tanya jujur dari jiwa ini, kenapa episode ini begitu panjang???.

Drs. Dadang Sugiana, M.Si (tokoh komunikasi) idolaku

Drs. Dadang Sugiana, M.Si (tokoh komunikasi) idolaku
Ini tahun ke tujuh untuku belajar ilmu komunikasi di Universitas Padjadjaran, dalam waktu tujuh tahun pula di berbagai kelas aku merasa bodoh dan tak tahu banyak hal tentang ilmu komunikasi. Salah satu saat aku merasa bodoh dan tak tahu banyak ilmu komunikasi itu adalah ketika mengikuti perkuliahan pak Dadang sugiana. Meski materi kuliah yang dibawakan beliau cukup menarik, Aku lebih suka mengambil tempat duduk paling belakang atau paling depan saja, karena dengan duduk di depan atau paling belakang tentu tidak terlalu terlihat olehnya. Hal itu aku lakukan tentu saja karena aku merasa tak percaya diri, mengingat pola kuliah interaktif yang di terapkannya ternyata mampu membuat aku dan mungkin hamper seisi kelas bungkam ketika beliau melontarkan pertanyaan. Aku merasa yakin telah kubaca literature yang berkaitan dengan mata kuliah tersebut, tetap saja setiap Tanya yang terlontar tak bisa aku jawab, baru setelah dijawab beliau sendiri aku ingat semua jawaban dari pertanyaan tersebut, Sungguh luar biasa menurutku. Sejauh ini, dalam beberapa kesempatan menjadi pembicara dalam kegiatan kemahasiswaan dan dalam curriculum vitae kutuliskan salah satu tokoh komunikasi idolaku adalah pak dadang sugiana, seorang akademisi yang menurutku faham betul bidangnya dan bukan seorang pribadi yang membosankan. Terimakasih dariku karena sering membuatku tampak bodoh, yang ternyata karena merasa bodoh tersebut menjadi motivasi untuk belajar lebih baik lagi.

ketikahujanituturunlagi

Ketika hujan itu turun lagi,…
Entah ini bulan keberapa hujan turun terus menerus setiap hari bahkan sepanjang hari, yang pasti ketika hujan itu turun (lagi) yang aku pikirkan tidak lain bagaimana agenda-agendaku hari ini, karena ketika hujan turun aku pasti tertahan di suatu tempat atau mungkin dalam perjalanan. Meski sebenarnya hujan itu bukan alas an bagiku untuk berhenti beraktivitas atau berteduh di pinggir jalan kalau aku menggunakan kendaraan roda empat atau memiliki ketahanan tubuh yang super, karena beberapa kali menerobos hujan dengan sepeda motor, meski menggunakan jas hujan tetap saja membuatku demam. Beberapa kawan mengatakan hujan itu anugerah dan hujan itu romantic, aku menyepakatinya dengan catatan hujan itu tidak turun ketika ku beraktivitas diluar.
Ketika hujan itu turun lagi, aku berharap sedang ada dirumah kontrakan, menikmati secangkir kopi panas sambil mendengarkan alunan lagu melodic core dengan suara yang tidak kalah oleh suara hujan, menghisap rokok dan mengisi TTS di Koran hari ini, setelah memastikan bahwa jemuranku sudah berada ditempat yang teduh. Skema hujan turun saat aku diam dirumah kontrakan itu tentu lebih ideal lagi bila dinikmati tidak sendirian, melainkan ada “Simanehna” disampingku.
Ketika hujan itu turun lagi, aku sedang ada di tengah hutan dengan motor trail, menjajali tanah merah yang basah. Sesekali kutengok kebelakang, memastikan kawananku masih ada dibelakang mengikuti dan berharap aliran sungai dekat kampong pinggir hutan belum meluap agar aku dan teman-temanku bisa menyebranginya tanpa harus menggotong motor trail yang lumayan berat. Sesampainya di kampong kupastikan land rover long shasis warna putih miliku masih ada terparkir di depan warung kecil, karena di mobil itu kusimpan pakaian kering untuk ganti agar tidak kedinginan dan telepon satelit untuk menghubungi “Simanehna” agar tidak khawatir pada lelakinya.
ketika hujan itu turun lagi, aku mengingat satu nama kerabatku yang menyukai hujan. Namanya Fatimah, lebih dikenal dengan nama empat, mahasiswi jurusan jurnalistik yang aku kenal ketika dia kuliah semester awal. Beberapa kali sempat kukirimkan nona hujan* (* Nama si empat dalam phone book ponselku) itu sebuah pesan singkat tentang hujan, isinya hanya ucapan selamat karena doa dan tarian minta hujannya dikabulkan.
Hari ini aku relakan saja hujan itu turun tiap hari, mengguyur kotaku yang sudah basah. Semoga saja saat hujan itu reda bisa kunikmati indahnya pelangi yang semoga saja tidak pernah memudar, seperti yang ditulis Seno Gumira Ajidarma dalam novel sepotong senja untuk pacarku.

सुअतु पगी यांग तेरस pagi

The great morning for the great daniella
Waktu menunjukan pukul enam lebih dua puluh empat menit, lagu paint it Black milik Rolling Stones terdengar lebih menggairahkan pagi ini, secangkir kopi hitam dan sebatang rokok filter terasa lebih nikmat dinikmati. Owh… beginilah pagi yang indah, sebuah pagi dimana aku bisa menyaksikan embun mulai memudar tergantikan matahari pagi yang hangat, setumpuk pekerjaan kantor yang kubawa pulang rumah sudah selesai kukerjakan, dan seulas senyum optimisku menjalani hari ini lebih baik dari kemarin. Aku harus minta maaf kepada pagi untuk kesalahanku selama ini dalam memahaminya. Selalu saja kutulis atau kukatakan bahwa aku adalah anak kandung gelap malam dan kekasih senja yang menganggap pagi adalah terror terorganisir. Karena hal itu pula Hamper kupastikan sudah sekian lama tidak kunikmati suasana pagi seperti ini, biasanya pagi yang kunikmati adalah ketika jam menunjukan pukul sepuluh keatas dengan pening dikepala dan sejuta Tanya tentang hari ini. Jam kini telah menunjukan pukul tujuh lebih sepuluh, saatnya untuku beranjak beraktivitas, menikmati esensi dari sebuah pencaharian.