Rabu, 27 Oktober 2010

Episode panjang itu berakhir

“Semuanya belum berakhir, masih tersisa lintasan lain untuk dijalani, setidaknya satu etape panjang dan cukup melelahkan telah diselesaikan. Akhirnya... kuraih juga gelar sarjana ilmu komunikasi, setelah hampir delapan tahun kulalui prosesnya. Hampir delapan tahun tentu saja ukuran waktu yang “fantastis”, untuk mendapatkan gelar sarjana tersebut, mengingat begitu banyak kawan yang bisa lulus dalam hitungan jauh dibawah itu. Meski demikian, ada beberapa orang kawanku yang membutuhkan waktu lebih lama dari yang telah kuambil tersebut, untuk menyelesaikan kuliahnya.”
Begitulah gumamku dalam hati, sesaat setelah bunyi gong ditabuh oleh protokoler, menandakan prosesi wisuda untuk fakultas ilmu komunikasi dimulai. Satu persatu nama wisudawan dan wisudawati dipanggil protokoler, untuk naik ke podium dan menerima map ijazah dari Dekan dan ucapan selamat dari Rektor. Sambil menunggu giliran namaku dipanggil, kuperhatikan semua nama dan wajah orang yang dipanggil. Setiap orang yang naik podium wajahnya terlihat sumringah, aku bisa melihatnya dari layar besar yang ditempatkan di dua sisi podium. Akh... begitu banyak orang yang aku kenal, mereka teman satu angkatan dan tentu saja adik angkatan. Tidak ada satupun kakak angkatan, karena memang aku angkatan palling tua dikampus. Aku dan sekitar dua ratus orang yang wisuda hari itu adalah angkatan cuci gudang, atau hanya diberikan pilihan lulus, drop out atau mengundurkan diri, karena masa studi yang sudah mencapai batas akhir dari yang diberikan oleh kampus. Giliranku tiba, setelah kudengarkan namaku disebut oleh protokoler, dengan pasti kulangkahkan kaki menuju meja dekan untuk mengambil map ijazah dan di meja berikutnya kudapatkan ucapan selamat dari Rektor.
Begitulah akhir dari episode panjang bernama kuliahku, tidak se dramatis yang kubayangkan tapi sangat berkesan untuk dikenang. Oom dan tante beserta kedua anaknya, beberapa kerabat dan tentu saja kekasih yang datang mendampingi wisudaku cukup membuatku berbahagia saat itu, semakin meyakinkan bahwa aku memang tidak sendirian. Diantara kebahagiaanku itu, tetes air mata tidak bisa aku cegah untuk jatuh. Aku merindukan ibu tercinta disurga, yang meninggal tepat ketika aku di terima di kampus ini. Satu motivasi besar untuku hingga bisa menyelesaikan kuliah ini, adalah keinginan ibuku memiliki anak kuliah di Universitas Padjadjaran. Telah aku tunaikan, semoga Ibu berbahagia.

Graha sanusi, Universitas Padjadjaran, 25 Agustus 2010

Pesan singkat menjelang puasa

Puasa tahun ini, untuku terasa tidak begitu istimewa. menjelang hari pelaksanaan aku masih menjalankan rutinitas seperti biasanya, tidak kubuat persiapan seperti tahun-tahun sebelumnya, seperti rencana tempat sahur, silaturahmi kepada keluarga yang di luar kota dan ziarah ke makam ibunda tercinta. Seperti biasanya menjelang puasa, teman dan sodaraku mengirimkan pesan singkat yang berisi permohonan maaf dan ucapan selamat menunaikan ibadah puasa, Yang membedakan dari pesan singkat yang lainnya adalah, beberapa kerabatku mengirimkan pesan singkat dengan tema yang sama namun dengan pengemasan yang berbeda. Aroma curhat asmara begitu kuat terasa dalam beberapa pesan singkat tersebut, semisal pesan singkat dari seorang kerabat yang biasanya kupanggil Axl dan umar perez.
+628562087XXX Axl
Sehari lg, smoga bulan puasa tahun ini adalah kawah cadradimuka yang mnjadikan kita semakin “bijak”.. menjadi lebih dekat dengan’NYA.. dan dirinya.. Amien..
+628562348XXX Umar
Umar.Perez : Selamat berpuasa..semoga saja, menamatkan semua puasa di tahun ini lebih menyenangkan dari mendapatkan wanita itu.. amien..
+628562087XXX Axl
Alhamdulillah, Berakhir sudah gelaran puasa perdana, teriring sebuah doa semoga disaat dia berbuka puasa, turut berbuka pula hatinya tuk menerima kembali.. Amien.
+628562348XXX Umar
Pengalaman menunggunya bertahun2 membuatku cukup mudah menunggu waktu berbuka yang hanya kurang lebih 14 jamsaja setelah imsyak.. selamat berbuka.

Setelah membaca pesan singkat tersebut, aku berasa punya kewajiban untuk membalasnya dengan turut serta larut dalam cerita tersebut, meskipun saking dalamnya setiap kata dalam pesan singkat itu, aku hanya bisa jawab Amieen.... terima kasih kerabatku, sungguh pesan singkat yang kalian kirim tersebut membuatku bergairah menjalankan puasa. Semoga setiap doa yang tersirat dalam pesan singkat itu, dijawab oleh Tuhan. Amien...

Pagi tanpa senyum

Jam digital di layar ponselku menunjukan pukul 05.40, saatnya bangun dan menikmati kembali drama pagi yang menggairahkan. Saatnya keluar dari kamar dan lakukan ritual pagi, semoga saja ada penghuni lain yang sudah bangun, mungkin mereka bisa kuajak jalan kaki ke warung nasi kuning depan komplek. Kenyataan berkata lain, ternyata aku penghuni pertama yang bangun pagi ini, sisanya masih menikmati atmosfir akhir pekan yang diklaim memberikan kebebasan untuk bangun siang, tanpa harus merasa bersalah juga berdosa. Sudahlah kuurungkan saja niatku sarapan nasi kuning, pagi ini cukup kopi hitam yang pekat dan beberapa batang rokok saja.
Secangkir kopi panas terhidang didepanku kini, menemaniku menyaksikan berbagai berita di televisi yang sepertinya masih enggan memberikan kabar baik. Sebatang rokok terselip diantara dua jari tangan kiri sedari tadi belum kusulut, tidak kutemukan satupun korek api di sekitarku. Terpaksa kulangkahkan kaki menuju dapur, bersyukur bila disana ada korek api, kalaupun tidak ada korek api, bisa kuambil api dari kompor. Drama pagi yang menyenangkan begitu cepat meninggalkanku sepertinya, langit dengan mentari yang cerah segera berubah menjadi mendung kelabu, dan aku yakin dari sekian juta penghuni bumi hanya aku yang merasakan hal itu. Aku tidak percaya dengan pemandangan yang kusaksikan kini, aku tidak ingin mengakui jika ini adalah kenyataan. Tepat di pojok dapur, dibawah lemari perabot, didalam aquarium kecil itu, beberapa ikan peliharaanku mati mengambang. Akh... segera kuhampiri, dan kupastikan siapa saja yang akhirnya tewas di aquarium itu. ikan koi kecil berwarna merah yang kuberi nama jukut, ikan patin hitam yang kuberi nama rimba dan ikan yang terakhir... aku tidak tega menyebutkan nama ikan mas merah itu.
Jukut dan rimba baru satu minggu menemani hari-hariku yang selalu panjang, aku tidak begitu sedih juga kehilangan. Mungkin mereka tewas karena tidak terbiasa ada dalam aquarium kecil tak terurus, mungkin mereka juga tidak sanggup mennjadi bagian dari hari-hariku yang statis ini. Tapi ikan mas merah itu, aku terlampau sedih walau untuk menyebutkan namanya. hampir dua tahun dia menemaniku, selalu setia mendengar segala cerita getirku, selalu tabah meski tidak kuberikan penghidupan yang layak. Pertama kali dia masuk dalam kehidupanku, dia mendiami drum besar penampung air hujan, di halaman belakang rumah, berikutnya pernah mendiami gentong bekas penyimpanan beras, dan yang terakhir pernah pula dia meninggali galon air minum selama beberapa bulan. Ikan mas merah itu adalah yang terbaik dan terindah untuku, diantara lebih dari duapuluh ikan yang pernah kumiliki, hanya dia yang bisa bertahan, karena memang hanya kamu yang bisa.
Kini ikan mas merah itu telah pergi, benar benar pergi untuk selamanya. Semoga kau berbahagia disana, semoga pula kau tidak menggugatku atas segala hal yang kulakukan, karena aku yakin kau tahu betul bagaimana aku mencintaimu. Selamat jalan, Sarah.

Saat pagi datang untuk kesekian kalinya

ditemani secangkir kopi panas dan beberapa batang rokok kretek, diantara serakan buku dan dokumen dilantai kamar kontrakan, duduk mencoba menuliskan segala yang sedang kurasakan. Begitulah aku yang sudah beberapa bulan ini hanya bisa menjalani hari, tanpa merasa menikmati hari. Segala yang terjadi dan kulalui seakan hanya drama monoton tanpa alur yang jelas, tanpa skenario memadai yang bisa membuat penonton meninggalkan kursi sebelum pertunjukan tuntas. Semuanya porak poranda, tidak lagi pada tempatnya dan aku cukup kebingungan untuk mengembalikannya pada posisi semula. Inilah duniaku kini, menjalani hari tanpa mencintai pekerjaan, tanpa aktivitas berarti dan tanpa kehangatan yang kuinginkan.
Sengaja kupilih beberapa lagu “perjuangan”, yang biasanya kudengar dan bahkan kunyanyikan saat ikuti demonstrasi dahulu. Aku ingin menikmati suasana pagi ini lebih istimewa dari biasanya, biarkan lirik-lirik lagu yang penuh dengan amarah pada keadaan dan harapan besar pada perubahan bernama revolusi, menerjang gendang telingaku. Inginku tidak hanya mengamini setiap harapan dalam lagu-lagu itu, tapi mengimaninya. Pagi dipenghujung bulan September ini terasa lebih cerah dan hangat, dibanding dengan pagi yang kulalui sebelumnya, mendung dan suram selalu.
Maafku kepada diri sendiri karena selama ini terlampau sering kusakiti. Aku masih percaya Selalu ada harapan akan datang pelangi, setelah hujan turun.

Musik dan moment

selalu saja kuharapkan ada sesuatu hal, yang akan mengingatkan pada setiap moment yang kulalui. Suatu hal itu bisa berupa apa saja, meski tidak sedikit barang kenang-kenangan yang bisa mengingatkanku pada berbagai moment, tapi yang paling sering kumiliki dan cukup melekat dalam ingatanku adalah lagu. Lagu-lagu itu kadang tidak memiliki korelasi langsung dengan moment yang kulalui, baik itu lirik lagu maupun nuansanya, tapi entah kenapa setiap lagu itu seakan melengkapi warna-warna yang kudapatkan dalam setiap moment tersebut. Setiap mendengarkan lagu everything will flow milik group musik Suede, ingatanku terbang ke sebuah bulan puasa di tahun 2000an, ketika mendengarkan lagu satu sisi milik dewa 19, terbayang jelas petualangan penyusuran pantai selatan jawa barat, yang kulakukan pada tahun 2001an. Begitu pula ketika kudengar lagu here for you milik fire house, ingatanku melayang ke pantai anyer tahun 1998an. Dan masih banyak lagi lagu lain yang akan mengingatkan pada moment-moment.
Yang paling terakhir, lagu selamat jalan kekasih dari chryse, akan mengingatkanku pada saat wisuda di garaha sanusi Unpad.

Halo rena...

Sudah cukup lama sejak saat itu, suatu sore di kota tua yang kurasa cukup indah. Kita duduk tanpa banyak bicara, baik kamu ataupun aku sendiri lebih tertarik untuk menikmati segala warna sore itu, tanpa obrolan yang aku yakini tidak akan menyenangkan. Kamu duduk di sebelah kiriku, tatapan matamu tampak hampa memandang lantai berwana dan sedikit mengkilat. Kuperhatikan lekat kamu yang sore ini tampak lebih manis, dengan stelan kemeja putih, celana panjang hitam dan tentu saja liontin kalung bahan perak bertuliskan nama panggilanmu. Andai saja aku bisa menambahkan musik pengiring untuk situasi itu, tentu akan lebih terasa indah dan akan semakin lekat dalam memoriku. Setiap obrolan yang terjalin antara kita saat itu, aku yakini tidak ada satupun yang tuntas. Yang pasti aku dan aku harap kamu juga menganggap bahwa kita telah mencapai kesepahaman tentang apa yang terjadi antara kita. Sebutkanlah semua ini karena kebodohanku, tidak mengambil keputusan untuk lebih lama menikmati segala warna yang akan terjadi, antara aku dan kamu yang pada akhirnya menjadi kita. Karena begitu banyak hal yang kuinginkan ada padamu, karena kamu adalah imajinasi ketika mataku terbuka, aku memilih untuk balik kanan dan tetap menjadikan kamu imajinasi saat mata kupejamkan. Seperti katamu, tidak boleh ada kata maaf diantara kita, karena memang tidak ada satu diantara kita yang salah dan yang benar. Aku amini kata-katamu, kita dipertemukan dalam waktu yang tidak tepat, kita bertemu disaat salah satu diantara kita masih menikmati segala getir dari cerita masa lalu.
Selalu saja ada keinginanku untuk mencari keberadaanmu, atau sekedar mencari kabarmu, hanya saja setiap rasa itu selalu aku simpan dan bahkan aku enyahkan dari pikiranku. Tidak kusimpan lagi nomor telfonmu, account Email atau alamat tinggalmu, aku rasa kamu-pun melakukan hal yang sama. Mungkin, suatu hari kita dipertemukan dan tentu saja di waktu yang tepat. Semoga...

segala hal-nya (harus) selalu dramatis.

“ ...bukan daniella jika segala hal tidak jadi dramatis” begitulah bunyi pesan singkat yang kukirim pada beberapa orang, ketika aku dalam perjalanan balik dari liburan lebaran, Semacam sikap protes yang tak tahu harus kualamatkan pada siapa. Liburan lebaran tahun ini, seperti biasa kuhabiskan di kediaman nenek dari ayahku di majalaya, yang jaraknya tidak terlalu jauh dari pondokan tempatku tinggal. Perjalanan yang biasanya hanya butuh waktu kurang dari dua jam, kali ini harus aku lalui sampai delapan jam lebih. Sudah dua kali dalam dua hari terakhir ini, agenda pulang terhambat oleh hujan yang turun begitu deras, kali ini aku putuskan untuk berangkat lebih siang sebelum hujan turun. Jam sebelas siang selesai pamit kepada semua keluarga, diantar oleh seorang sepupu menggunakan sepeda motor kumulai perjalanan etape pertama menuju stasion kereta api Cicalengka yang jaraknya tidak lebih dari sembilan kilometer. Perjalanan hanya bisa kuselesaikan tidak lebih dari setengahnya, langit cerah tiba-tiba berubah menjadi mendung kelam dan drama hujan deras dimulai, Segera kami menepi ke sebuah warung kopi kecil untuk berteduh. Lebih dari setengah jam kami habiskan waktu di warung kopi itu, sampai akhirnya hujan tinggal gerimis. Sesegera mungkin kami tinggalkan tempat itu dan melanjutkan perjalanan. Kenyataan berkata lain, tidak lebih dari dua ratus meter kemudian, hujan deras kembali mengguyur dan kami harus berteduh (kembali) di warung kopi (lagi) yang berbeda. Setengah jam kemudian, jam tiga sore kami sudah sampai stasion kereta api yang semua bagian depannya terendam banjir selutut orang dewasa. Kulihat jadwal pemberangkatan kereta api, ternyata masih satu setengah jam lagi baru ada, dengan segala keterpaksaan aku harus menunggunya sendirian karena sepupu yang mengantarkanku memilih untuk segera pulang kembali. Dari pengeras suara, terdengar informasi dari petugas stasion bahwa Kereta sedang kutunggu mengalami keterlambatan, penantianpun bertambah. Sambil menunggu, kupesan lagi secangkir kopi hitam untuk menghangatkan tubuh yang sudah cukup basah ini, kukeluarkan pula novel perahu kertas karya dewi lestari untuk mengalihkan perhatianku dari dingin dan jengkel yang mulai kurasa. Kereta telah tiba, segera kuberdiri bersama ratusan calon penumpang lainnya di samping jalur kereta. Jam enam lebih aku sudah berdiri dalam gerbong kereta yang kurasa berjalan lebih pelan daripada biasanya, yang akhirnya kutahu bahwa itu adalah petunjuk untuk kejutan untuku berikutnya. Ya, benar sekali kereta berhenti dan mogok karena satu dan lain hal, untuk kembali melaju kami harus menunggu lokomotif baru yang akan didatangkan dari stasion pusat. Raaaaar... aku sudah tidak bersemangat untuk berkomentar, hingga akhirnya pukul delapan lebih aku sudah turun dari kereta di stasion hall bandung. Segera kuhubungi seorang kawan yang katanya mau menemuiku disana, dan setelah bertemu kami putuskan untuk segera pulang ke pondokan menggunakan angkot. Tepuk tangan sambil berdiri... angkot jurusan ciumbuleuit sudah tidak ada, otomatis kami harus menggunakan angkot jurusan lain yang setidaknya mendekati pondokan. Kenyataan lain bahwa angkot dago yang kami maksud, juga sudah tidak ada dan tidak ada pilihan selain jalan kaki. Bagiku menggunakan taxi adalah pilihan terakhir, apalagi alasannya selain karena harganya yang mahal. Trootar licin dan berlubang mulai kami tapaki, dari stasion halte menuju ciumbuleuit yang kami yakini cukup jauh. Sampai jalan dago, kawanku memutuskan untuk segera pulang kerumahnya yang cukup jauh juga, disana kami berpisah dan Jam sebelas lebih aku baru sampai di pondokan, dengan keringat yang sudah membasahi hampir semua bagian tubuhku. Mari kita rayakan hari penuh kejutan ini, untuk daniella yang segala hal-nya (harus) selalu dramatis.

sex after dugem dari budiman hakim

7C Ciumbuleuit, 11 Agustus 2010 / 00.52
Sudah lebih dari enam bulan sejak diberikan oleh seorang kawanku,siswanto. buku berjudul sex after dugem itu tertumpuk diantara buku-buku yang sudah kubaca, dan belum sempat aku rapikan kembali. Entah karena alasan apa aku tidak membacanya, padahal kalau masalah waktu, aku rasa selalu ada waktu untuku membaca. apalagi buku ini adalah hadiah dari seorang kawan, yang tentu saja aku yakin tidak asal diberikanya padaku, pasti ada kaitan dengan hal-hal yang aku sukai. Selain itu, bagiku adalah dosa membiarkan buku yang dimiliki tidak dibaca sesegera mungkin. Hal yang paling logis menjadi alasan aku belum membacanya, mungkin karena beberapa bulan ini aku disibukan untuk membaca berbagai literasi komunikologi dan literasi musik underground, untuk penyusunan skripsiku. Sampai suatu hari, bimo yang merupakan adik angkatan satu jurusan dan tinggal satu pondokan menghubungiku, dia hendak meminjam buku tersebut, katanya untuk kepentingan membuat makalah tentang periklanan. Aku persilakan bimo untuk mengambil buku itu di kamar dan sekalian membuka segelnya, karena ternyata bagi beberapa orang termasuk saya, haram hukumnya “merawanin” barang orang yang dipinjam.
Setelah buku itu dikembalikan oleh bimo, kini giliranku untuk membacanya. Dimulai dengan memperhatikan cover buku yang berwarna putih dengan ilustrasi warna hijau, sangat menarik terkecuali judul yang kurasa terlampau “bombastis”, dan berkesan minta perhatian calon pembacanya. Lembar berikutnya yang kubaca adalah testimonial dari orang-orang terkenal tentang isi buku tersebut, yang hampir semuanya mengatakan buku tersebut adalah buku yang penuh kejujuran dan penuh pelajaran hidup. Pepatah lama “jangan nilai buku dari covernya” sepertinya harus kupakai kali ini. Petualangan dimulai dari cerita berjudul plesetan, dan ternyata sukses berat membuatku menghakimi diri sendiri bahwa aku salah, kenapa tidak dari dulu baca buku menyenangkan ini. Cerita demi cerita aku baca dengan tanpa beban, sungguh menyenangkan bisa menikmati berbagai cerita dalam buku itu. Untuk beberapa cerita, aku merasa hadir dalam cerita tersebut. Aku merasa membaca diary sendiri yang belum sempat aku tulis. Terima kasih om bud*(*mencoba sok akrab saja), bukunya menggairahkanku untuk nulis dan baca lagi.

sex after dugem dari budiman hakim

7C Ciumbuleuit, 11 Agustus 2010 / 00.52
Sudah lebih dari enam bulan sejak diberikan oleh seorang kawanku,siswanto. buku berjudul sex after dugem itu tertumpuk diantara buku-buku yang sudah kubaca, dan belum sempat aku rapikan kembali. Entah karena alasan apa aku tidak membacanya, padahal kalau masalah waktu, aku rasa selalu ada waktu untuku membaca. apalagi buku ini adalah hadiah dari seorang kawan, yang tentu saja aku yakin tidak asal diberikanya padaku, pasti ada kaitan dengan hal-hal yang aku sukai. Selain itu, bagiku adalah dosa membiarkan buku yang dimiliki tidak dibaca sesegera mungkin. Hal yang paling logis menjadi alasan aku belum membacanya, mungkin karena beberapa bulan ini aku disibukan untuk membaca berbagai literasi komunikologi dan literasi musik underground, untuk penyusunan skripsiku. Sampai suatu hari, bimo yang merupakan adik angkatan satu jurusan dan tinggal satu pondokan menghubungiku, dia hendak meminjam buku tersebut, katanya untuk kepentingan membuat makalah tentang periklanan. Aku persilakan bimo untuk mengambil buku itu di kamar dan sekalian membuka segelnya, karena ternyata bagi beberapa orang termasuk saya, haram hukumnya “merawanin” barang orang yang dipinjam.
Setelah buku itu dikembalikan oleh bimo, kini giliranku untuk membacanya. Dimulai dengan memperhatikan cover buku yang berwarna putih dengan ilustrasi warna hijau, sangat menarik terkecuali judul yang kurasa terlampau “bombastis”, dan berkesan minta perhatian calon pembacanya. Lembar berikutnya yang kubaca adalah testimonial dari orang-orang terkenal tentang isi buku tersebut, yang hampir semuanya mengatakan buku tersebut adalah buku yang penuh kejujuran dan penuh pelajaran hidup. Pepatah lama “jangan nilai buku dari covernya” sepertinya harus kupakai kali ini. Petualangan dimulai dari cerita berjudul plesetan, dan ternyata sukses berat membuatku menghakimi diri sendiri bahwa aku salah, kenapa tidak dari dulu baca buku menyenangkan ini. Cerita demi cerita aku baca dengan tanpa beban, sungguh menyenangkan bisa menikmati berbagai cerita dalam buku itu. Untuk beberapa cerita, aku merasa hadir dalam cerita tersebut. Aku merasa membaca diary sendiri yang belum sempat aku tulis. Terima kasih om bud*(*mencoba sok akrab saja), bukunya menggairahkanku untuk nulis dan baca lagi.