Rabu, 27 Oktober 2010

Pagi tanpa senyum

Jam digital di layar ponselku menunjukan pukul 05.40, saatnya bangun dan menikmati kembali drama pagi yang menggairahkan. Saatnya keluar dari kamar dan lakukan ritual pagi, semoga saja ada penghuni lain yang sudah bangun, mungkin mereka bisa kuajak jalan kaki ke warung nasi kuning depan komplek. Kenyataan berkata lain, ternyata aku penghuni pertama yang bangun pagi ini, sisanya masih menikmati atmosfir akhir pekan yang diklaim memberikan kebebasan untuk bangun siang, tanpa harus merasa bersalah juga berdosa. Sudahlah kuurungkan saja niatku sarapan nasi kuning, pagi ini cukup kopi hitam yang pekat dan beberapa batang rokok saja.
Secangkir kopi panas terhidang didepanku kini, menemaniku menyaksikan berbagai berita di televisi yang sepertinya masih enggan memberikan kabar baik. Sebatang rokok terselip diantara dua jari tangan kiri sedari tadi belum kusulut, tidak kutemukan satupun korek api di sekitarku. Terpaksa kulangkahkan kaki menuju dapur, bersyukur bila disana ada korek api, kalaupun tidak ada korek api, bisa kuambil api dari kompor. Drama pagi yang menyenangkan begitu cepat meninggalkanku sepertinya, langit dengan mentari yang cerah segera berubah menjadi mendung kelabu, dan aku yakin dari sekian juta penghuni bumi hanya aku yang merasakan hal itu. Aku tidak percaya dengan pemandangan yang kusaksikan kini, aku tidak ingin mengakui jika ini adalah kenyataan. Tepat di pojok dapur, dibawah lemari perabot, didalam aquarium kecil itu, beberapa ikan peliharaanku mati mengambang. Akh... segera kuhampiri, dan kupastikan siapa saja yang akhirnya tewas di aquarium itu. ikan koi kecil berwarna merah yang kuberi nama jukut, ikan patin hitam yang kuberi nama rimba dan ikan yang terakhir... aku tidak tega menyebutkan nama ikan mas merah itu.
Jukut dan rimba baru satu minggu menemani hari-hariku yang selalu panjang, aku tidak begitu sedih juga kehilangan. Mungkin mereka tewas karena tidak terbiasa ada dalam aquarium kecil tak terurus, mungkin mereka juga tidak sanggup mennjadi bagian dari hari-hariku yang statis ini. Tapi ikan mas merah itu, aku terlampau sedih walau untuk menyebutkan namanya. hampir dua tahun dia menemaniku, selalu setia mendengar segala cerita getirku, selalu tabah meski tidak kuberikan penghidupan yang layak. Pertama kali dia masuk dalam kehidupanku, dia mendiami drum besar penampung air hujan, di halaman belakang rumah, berikutnya pernah mendiami gentong bekas penyimpanan beras, dan yang terakhir pernah pula dia meninggali galon air minum selama beberapa bulan. Ikan mas merah itu adalah yang terbaik dan terindah untuku, diantara lebih dari duapuluh ikan yang pernah kumiliki, hanya dia yang bisa bertahan, karena memang hanya kamu yang bisa.
Kini ikan mas merah itu telah pergi, benar benar pergi untuk selamanya. Semoga kau berbahagia disana, semoga pula kau tidak menggugatku atas segala hal yang kulakukan, karena aku yakin kau tahu betul bagaimana aku mencintaimu. Selamat jalan, Sarah.

Tidak ada komentar: