Minggu, 30 Januari 2011

Garuda tetap didadaku

Garuda di dadaku, garuda kebanggaanku…. Begitulah penggalan lirik lagu yang dipolulerkan oleh group music Netral, yang kahir-akhir ini begitu sering kudengar. Meskipun itu bukanlah lagu baru, tapi hari ini seakan menjadi lagu wajib yang harus dihafal dan dinyanyikan oleh semua kalangan masyarakat negeri ini. Dari mulai para penonton di triun stadion, anak-anak kecil di kampong, pengamen diperempatan jalan, artis-artis dalam berbagai tayangan televise, sampai pejabat tidak ketinggalan menyanyikan lagu tersebut. Ya, lagu itu seakan menjadi pemersatu bagi bangsa yang sedang dilanda euphoria ini, sebuah mabuk bersama dalam kebahagiaan dan kebanggaan memiliki tim sepak bola, yang permainannya mengagumkan di ajang piala Suzuki AFF 2010. Meskipun pada akhirnya timnas Indonesia kalah oleh Malaysia pada putaran final, tidak menjadi alas an untuk penghuni bangsa ini berhenti menyanyikan lagu itu, atau setidaknya memelankan volume saat menyanyikannya, tapi sebaliknya lagu itu tetap dinyanyikan, malah dengan nada semakin lantang. Biarkanlah tetap seperti itu, lagu itu tetap dinyanyikan dan menyalakan kembali rasa cinta pada negeri ini tumbuh semakin besar di benak setiap warga negaranya. Pada kenyataannya kita bias melupakan berbagai perbedaan yang selama ini menjadi pemicu gesekan diantara kita, ternyata kita masih memiliki rasa cinta itu. Moment ini harus terus dijaga dan kita jadikan agenda konsolidasi, untuk langkah bangsa selanjutnya. Bagaimanapun juga, dari moment ini kita bias ambil sebuah bukti bahwa nasionalisme bias tumbuh dan berkembang bukan hanya di ruang kelas saat kita mengikuti penataran P4, tapi juga bias dari lapangan hijau. biarlah Malaysia membawa pulang piala, kita disini mendapatkan hal yang lebih berharga dari pada piala itu, yaitu sebuah rasa cinta pada Indonesia.

29 desember 2010, saat senyum ramah terkembang dari wajah-wajah gelisah.

Dimataku, Ayam penyet itu hilang harga dirinya.

Perlu diketahui, aku bukanlah pecinta makanan pedas. Untuku, adalah aneh mengatakan makanan pedas itu adalah enak dan lezat, aku menganggap makanan pedas itu adalah penyiksaan dalam agenda menyakiti diri sendiri. Keputusanku untuk tidak menyukai makanan pedas, tentu saja tidak mucul begitu saja, melainkan hasil pergulatan panjang departemen lidah dan pencernaan, menjajali berbagai menu pedas dari satu menu ke menu yang lain. Salah satu makanan pedas yang pernah mampir di mulutku, adalah menu ayam dan terong penyet yang dijual tidak jauh dari pondokanku. Keterpaksaan-lah yang membuatku akhirnya mengkonsumsi menu itu, terpaksa karena tidak ada menu lain, terpaksa karena itu tempat makan terdekat dan terpaksa karena tubuhku butuh asupan makan. Ternyata keterpaksaan itu tidak hanya terjadi sekali, tapi berulang dengan alas an yang sama.dari sekian keterpaksaan itu percaya atau tidak, aku tidak pernah mampu menghabiskan satu porsi menu, Aku tidak bias menikmatinya, rasa pedas ayam dan terong penyet sepertinya masih saja menjadi terror.
Suatu malam yang begitu cerah dan hangat, dalam perjalanan pulang dari aktivitas, sengaja ku mampir di warung nasi untuk beli makan malam, pikirku pasti akan malas keluar jika sudah sampai pondokan. Saat di warung penjual nasi jereng kiri*, aku urungkan untuk beli menu biasa itu, tiba-tiba aku berpikir menu lain, ya… ayam dan terong penyet pedas itu. Untuk kali pertama rasanya, aku membeli menu ayam dan terong penyet itu tanpa merasa terpaksa, begitu ikhlas rasanya. Hidangan sudah tersedia, segera saja kulahap menu ayam dan terong penyet pedas itu, tidak ketinggalan satu gelas the manis panas yang kusiapkan jika kepedasan. Ironis namanya, hingga suap terakhir aku tidak merasa sedikitpun kepedasan oleh menu tersebut, the manis panas-pun tidak begitu berguna. Aku tertawa puas, bias menuntaskan makan malam menu terseut tanpa merasa tersiksa. Apakah karena aku mulai menikmati makanan pedas? Apakah aku mulai suka?. Tentu saja jawabanya bukan karena itu, melainkan karena ayam dan terong penyet itu tidaklah sepedas dahulu, meski warnanya merah dan namanya tetap penyet. Sepertinya karena kenaikan harga cabe yang tajam, membuat penjualnya harus mengurangi volume cabe dan memperbanyak gula dan tomat. Imbasnya, menu itu tetap menyandang nama besar penyet yang terkenal pedas itu, namun rasanya jauh dari predikat besarnya. Sungguh, dimataku ayam penyet itu kehilangan harga dirinya.

Ciumbuleuit, 2 januari 2011, saat langit begitu cerah penuh harapan.

memoar akhir tahun

“Bersyukur bisa lalui tahun 2010, tanpa percobaan bunuh diri satu kali-pun”, begitulah kalimat yang kujadikan status di jejaringsosial facebook, hari terakhir tahun 2010 ini. Mungkin terdengar cukup bodoh dan putus asa, percayalah kalmat itu lahir setelah melalui pertarungan yang sengit dalam benak, antara aku dan saya. Beberapa hari di penghujung desember ini, sengaja kuluangkan waktu cukup panjang untuk membuat review segala sesuatu yang terjadi selama tahun ini, banyak hal besar menyenangkan kudapatkan, Tidak sedikit pula kejadian memilukan yang telah kulalui dan aku syukuri pula. Sedih rasanya harus memberikan predikat tahun terberat untuk tahun 2010 yang akan segera berlalu ini, hanya saja tetap harus aku lakukan, karena memang demikian kenyataannya, karena pada kenyataanya memang rangkaian cerita pedih dan memilukan yang lebih banyak mendominasi hari di tahun 2010 ini. Pemberian predikat tahun terberat, semata-mata sekedar monument kecil tentang rangkaian kepedihan untuk pengingat di langkah berikutnya. “harapan” adalah konsep yang selalu aku sukai, apalagi dalam situasi-situasi seperti ini. Dalam tunduk ini, kusisipkan doa dan harapan tentang esok yang semoga lebih baik dan semoga selalu menyenagkan.
Ciumbuleuit, 31 desember 2010, saat senja tidak cukup cantik datang menghampiri