Aku teringat beberapa tahun silam,ketika aku mulai merasa tidak nyaman melihat kerutan wajah, kusamnya air muka , melihat tatapan mata yang makin keruh , dan segalah hal dari diriku yang kulihat dicermin. Seakan aku tak mengenal siapa diriku, seakan aku melihat sosok lain dari diriku. Benarkah itu aku? Apakah dia adalah aku? Dan sejak kapan aku seperti itu? Kalaupun benar itu adalah aku, Lantas apa yang membuat aku menjadi seperti itu?. Hampir lama aku terjebak dalam pemikiranku dan terbunuh oleh asumsi serta persepsi yang muncul dalam benakku kenapa aku harus memikirkan pertanyaan-pertanyaan tersebut?
Bagaimanapun juga, aku masih punya sisa waktu untuk menjalani hari. Kupaksakan kaki untuk menjalani hari, kucoba pula untuk mengalihkan perhatian ketika benak ini mulai mempertanyakan segala sesuatu yang kulihat dalam cermin itu. Sampai kapan?
“Gelisah ketika melihat cermin, apalagi kenyataan” kurang lebih itulah beberapa kata yang kubaca dari profil friendster seorang kerabat. entahlah, dari sekian banyak profil yang aku baca di friendster, kata-kata itu tampak lebih menarik dan bisa membuatku beberapa kali mengulang membacanya, mecoba mencari tanda yang bisa aku maknai atau mencoba mencernanya.
Ya… aku sedikit mengerti, Ternyata kata-kata itu adalah sebuah jawaban atas segala pertanyaan tentang kebencianku untuk bercermin. Bukan tak mengenal siapa yang wajahnya mulai berkerut, bukan aku yang tidak kenal kusam air muka itu, bukan aku yang tidak kenal tatapan mata keruh itu tapi karena aku tidak pernah sadar dan tidak pernah mau mengenal siap diriku dan bagaimana aku hari demi hari. Aku terlalu sibuk dengan masalalu, beromantisme dengan kulit wajah yang kencang, beromatisme dengan air muka yang cerah dan beromatisme dengan tatapan mata yang jernih.
Cermin adalah sebuah refleksi dari kenyataan, dari cermin aku bisa tahu siapa aku hari ini. Ya sebuah kenyataan yang harus aku terima dan sebuah kenyataan yang tidak mungkin aku hindari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar